Apakah anda sering mendengar istilah indeks glisemik ? Berikut penjelasan seputar indeks glisemik yang saat ini telah terbukti secara klinis sangat mempengaruhi kesehatan kita. Indeks glisemik (IG) adalah respon gula darah setelah kita makan satu porsi makanan uji yang mengandung 50 gram karbohidrat dibandingkan dengan respon gula darah terhadap makanan standar (roti putih atau glukosa) yang mengandung karbohidrat dalam jumlah sama dan diukur pada orang yang sama dan digambarkan dalam suatu kurva seperti di bawah ini. (Ludwig, 2000).
Konsep Indeks Glisemik merupakan perluasan dari hipotesis serat, yang menjelaskan bahwa konsumsi serat mengurangi laju penyerapan nutrien dari usus. Indeks Glisemik merupakan suatu konsep yang berhubungan dengan beberapa penyakit di negara Barat terutama obesitas sentral dan diabetes (DM). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karbohidrat yang terkandung dalam berbagai jenis makanan menghasilkan efek yang berbeda terhadap gula darah setelah makan dan respon insulin, respon tersebut sangat berbeda pada orang sehat dan penderita DM, dan tergantung laju pencernaan. Perbedaan di antara berbagai dietary carbohydrate (karbohidrat dalam makanan) menjadi pertimbangan yang penting karena respon peningkatan kadar gula darah dan kadar insulin ternyata sangat mempengaruhi proses fisiologi dalam tubuh. Oleh karena itu ditetapkan klasifikasi Indeks Glisemik berbagai makanan yang sesuai dengan karbohidrat dalam makanan untuk digunakan sebagai pencegahan dan terapi penyakit terutama penderita DM dan obesitas. Semakin rendah indeks glisemik suatu makanan maka akan semakin rendah risiko penyakit yang diderita seseorang (Jenkins dkk, 2002).
Diet Indeks Glisemik Rendah juga memperbaiki kontrol glisemik pada subyek DM, dan menurunkan kadar lemak dalam darah pada orang hiperkolesterolemia . Selain itu diet IGR menyebabkan peningkatan kadar kolesterol HDL, dan pada penelitian dihubungkan dengan penurunan risiko penyakit DM dan penyakit jantung koroner. Penelitian lain menunjukkan adanya hubungan positif antara Indeks Glisemik makanan dengan obesitas serta risiko kanker kolon dan payudara. Hasil-hasil positif dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa indeks glisemik makanan penting dalam terapi dan pencegahan penyakit-penyakit kronik (Jenkins dkk, 2002; Powell dkk, 2002).
Klasifikasi Makanan Menurut Indeks Glisemik.
Klasifikasi Indeks Glisemik menggunakan skala 0 sampai 100 adalah sebagai berikut (Whyte, 2006):
- rendah : <55
- sedang : 56-69
- tinggi : >70
Di bawah ini adalah contoh nilai Indeks Glisemik beberapa bahan makanan dan makanan .
Tabel I. Daftar Indeks Glisemik Bahan Makanan dan Makanan
Nama Bahan Makanan | IG |
Nasi putih jasmine bangkok | 109 |
Nasi putih pandan wangi | 48 |
Nasi merah | 55 |
Mi instan | 47 |
Mi cina | 47 |
Spageti | 46 |
Roti putih | 74 |
Cake | 62 |
Pizza | 51 |
Cornflakes | 81 |
French fries | 70 |
Kentang | 78 |
Gula | 68 |
Biskuit | 59 |
Jus tomat | 38 |
Jeruk | 39 |
Pisang | 51 |
Apel | 37 |
Stroberi | 40 |
Anggur | 50 |
Pir | 38 |
Melon | 42 |
Semangka | 58 |
Labu | 75 |
Susu full fat | 28 |
Susu low fat | 30 |
Susu skim | 32 |
Yogurt manis | 24 |
Yogurt tidak manis | 30 |
Es krim | 61 |
Sumber: modifikasi dari Murakami dkk, 2006
Indeks Glisemik pada makanan campuran juga dapat dihitung seperti tabel di bawah ini.
Tabel II. Contoh perhitungan IG dan makanan per saji (Foster-Powell dkk,
2002)
Jenis makanan |
Kandungan KH (g) |
Proporsi KH total (%) |
IG makanan |
IG makanan per saji |
Roti gandum |
20 |
0,51 |
58 |
29,58 |
Selai kacang |
6 |
0,15 |
44 |
6,60 |
Susu sapi skim |
13 |
0,33 |
37 |
12,21 |
Total |
39 |
48,39 |
Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Indeks Glisemik Makanan
Beberapa faktor yang mempengaruhi IG makanan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi karbohidrat dan ukuran partikel), perbandingan antara kadar amilosa dengan amilopektin dalam suatu makanan, tingkat keasaman dan daya osmotik, dan jumlah serat (Rimbawan dan Siagian, 2004; Powell dkk, 2002).
Lemak dan protein ternyata dapat menurunkan indeks glisemik dengan cara memperlambat pengosongan lambung, terutama bila dikonsumsi dalam jumlah besar (Wolover, 1991). Bahan makanan daging, unggas, ikan, alpukat, sayuran, keju dan telur tidak mempunyai nilai IG karena hanya mengandung sedikit karbohidrat (Foster-Powell dkk, 2002).
Cara pengolahan
a. Ukuran Partikel
Ukuran partikel mempengaruhi proses gelatinisasi karbohidrat. Penumbukan dan penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air. Ukuran partikel berhubungan dengan luas penampang permukaan total. Makin kecil ukuran partikel makin besar luas permukaan total makanan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Ukuran butiran karbohidrat yang makin kecil menyebabkan penguraian karbohidrat oleh enzim menjadi lebih mudah sehingga pencernaan dan absorpsi makanan menjadi lebih cepat. Hal ini menyebabkan respon gula darah makin cepat dan IG makanan makin tinggi.
b. Tingkat Gelatinisasi Karbohidrat
Karbohidrat dalam makanan mentah berbentuk granula yang tersusun rapat. Granula tersebut membuat makanan mentah menjadi sulit dicerna. Makanan kaya karbohidrat umumnya memerlukan proses masak sebelum dikonsumsi. Selama dimasak, air dan panas memperbesar ukuran granula. Jika sebagian besar granula karbohidrat mengembang maka karbohidrat ini menjadi tergelatinisasi penuh. Granula yang mengembang dan molekul karbohidrat yang bebas ini sangat mudah dicerna karena enzim dalam usus halus kontak dengan makanan yang permukaannya lebih luas. Reaksi cepat enzim ini menyebabkan peningkatan kadar gula darah yang cepat, oleh karena itu makanan yang mengandung karbohidrat tergelatinisasi penuh memiliki IG tinggi (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Kadar Amilosa dan Amilopektin
Terdapat dua bentuk karbohidrat dalam makanan yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer glukosa yang tidak bercabang. Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna. Amilopektin merupakan polimer glukosa bercabang yang memiliki ukuran molekul yang lebih besar dan lebih terbuka, sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Penelitian pada makanan dengan kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa peningkatan kadar gula darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi makanan berkadar amilosa tinggi dan sebaliknya bila kadar amilopektin lebih tinggi maka respon gula darah lebih cepat.
Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan
Gula meja yang merupakan sukrosa memiliki IG 65 (sedang) tetapi respon gula darah terhadap bagian fruktosa sangat kecil (IG = 23). Jadi respon gula darah terhadap 50 gram gula meja kira-kira setengah dari respon terhadap gula yang seluruh molekulnya glukosa (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Beberapa buah-buahan memiliki IG rendah sedangkan yang lain memiliki IG tinggi. Kemungkinan tingginya keasaman dan besarnya kekuatan osmotik (jumlah molekul per mililiter larutan) menyebabkan IG makin rendah.
Serat Makanan
Pengaruh serat terhadap IG makanan tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh, serat dapat berfungsi sebagai penghambat fisik pada pencernaan sehingga mengakibatkan IG rendah. Selain itu serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan di dalam saluran cerna. Hal ini memperlambat pasase makanan di saluran cerna dan menghambat kerja enzim, sehingga menyebabkan IG rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Pengaruh indeks glisemik terhadap rasa kenyang
Makanan indeks glisemik rendah (IGR) mempunyai dua jalur dalam mengontrol BB yaitu dengan meningkatkan rasa kenyang dan meningkatkan oksidasi lemak. Subyek yang mengkonsumsi makanan dengan IGR merangsang pengeluaran hormon kolesistokinin (CCK) (salah satu hormon kenyang) lebih banyak dan meningkatkan rasa kenyang setelah 180 menit. Perbedaan yang penting pada aplikasi klinik adalah peningkatan IG makanan 50% (contoh IG 50 ke 75) menghasilkan 50% penurunan rasa kenyang. Hal ini dibuktikan pada 16 penelitian dari 17 penelitian. Mekanisme lainnya, dengan mengkonsumsi makanan IG tinggi, terjadi peningkatan kadar insulin yang sangat tinggi sehingga secara langsung menurunkan kadar glukosa dan lemak menjadi lebih rendah daripada kadar waktu puasa. Setelah 3 sampai 5 jam pasca prandial, kadar glukosa dan lemak darah menjadi rendah sehingga memberi sinyal kekurangan energi pada SSP yang merangsang pusat lapar (Miller dkk, 2002).
Dari keterangan di atas marilah kita mulai memperhatikan indeks glisemik makanan kita untuk hidup lebih sehat.
oleh: Dr. Tjandraningrum, MGizi SpGk
http://mru.fk.ui.ac.id/index.php?uPage=data.detail&smod=research&sp=public&idpenelitian=133